Rabu, 12 Juli 2017

PERKEMBANGAN ILMU JIWA AGAMA PADA LANSIA



PERKEMBANGAN ILMU JIWA AGAMA PADA LANSIA



Mata Kuliah : Ilmu Jiwa Agama
Dosen Pengampuh : Karliana Indrawati. M.Pd.I

Disusun Oleh
Nama             : Farezi
Nim                : 622014035
Kelas              : A
Jam pelajaran : 08:30



FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2016/2017



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang eksploratif dan potensial. Dikatakan makhluk eksploratif,  karena manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis. Manusia disebut makhluk potensial, karena pada diri manusia tersimpan seumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan. Dalam suatu periode hidup manusia, terdapat fase-fase tertentu yang harus dilewati antara lain, fase prenatal, bayi baru lahir, masa bayi, masa kanak-kanak, masa anak-anak, masa puber, masa remaja, masa dewasa, masa madya, dan usia lanjut. Salah satu fase yang paling sering dibicarakan dan menarik perhatian para psikologi adalah fase fase madya dan usia lanjut. Hal ini dikarenakan timbulnya karakter dan kebiasaan unik yang dimiliki seseorang ketika memasuki usia lanjutyaitu berkisaran umur 70-100 tahun atau sampai meninggal. 
B.         Rumusan Masalah
        Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
a.    Apakah pengertian dari usia lanjut ?
b.    Bagaimana perkembangan agama pada masa usia lanjut?
c.    Apa sajakah ciri-ciri keagamaan pada usia lanjut?
d.   Bagaimanakah keadaan kematangan keagamaan pada masa usia lanjut?
e.    Bagaimanah perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam?
f.  Bagaimanakah cara bersikap kepada manusia usia lanjut?
C.    Tujuan
a.    Mengetahui pengertian dari usia lanjut
b.    Perkembangan agama pada masa usia lanjut
c.    Ciri-ciri keagamaan pada usia lanjut
d.   Keadaan kematangan keagamaan pada masa usia lanjut
e.    Perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam
f.     Cara bersikap kepada manusia usia lanjut
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Usia Lanjut
Periode selama usia lanjut, ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dan bertahap dan dikenal sebagai “senescence” yaitu masa proses menjadi tua. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari pada periode terdahulu[1] Didalam “gerontology” (ilmu yang mempelajari lanjut usia) lanjut usia dibagi menjadi dua golongan, yaitu “young old”(65-74) dan “old-old” (diatas 75 tahun). Dari kesehatan mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok “well old” (mereka yang sehat dan tidak sakit apa-apa) dan “sick old” (mereka yang menderita penyakit dan memerlukan pertolongan medis dan psikiatris). Kebutuhan akan kesehatan bagi kelompok “sick old” ini semakin besar, sehingga didunia kedokteran berkembang spesialisasi yang dinamakan “geriatry” baik dari aspek medis (fisik) maupun kejiwaan (psikiatris).[2]
Erik Erikson menyatakan bahwa manusia lanjut usia (manula) berada pada tahapan terakhir dari tahapan siklus. Menurut Ericson lanjut usia digambarkan sebagai konflik antara integritas (yaitu rasa puas) yang tercermin selama hidup yang tidak berarti. Lanjut  usia sebenarnya merupakan masa dimana seseorang merasakan kepuasan dari hasil yang diperolehnya, dan menikmati hidup bersama anak dan cucu, merasa bahagia karena telah memberi sesuatu bagi generasi berikutnya. Bagi para lanjut usia hendaknya mampu mengatasi cidera “narcissism”(kecintaan pada diri sendiri), terlebih-lebih manakala mereka kehilangan dukungan atau perhatian dari orang-orang disekitarnya. Apabila pada manula tidak mampu memelihara dan mempertahankan harga dirinya maka akan timbul rasa tegang, cemas, takut, kecewa, sedih, marah, putus asa dan sebagainya. Terjadi konflik pada manula yaitu dengan pelepasan kedudukan dan otoritasnya, serta penilaian terhadap kemampuan, keberhasilan, kepuasan yang diperoleh sebelumnya. Hal ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian usia lanjut adalah usia penutupan dimana pada usia ini teradinya suatu kemunduran dari segi fisik ataupun mental dalam rentan hidup seseorang yang mana dimulai pada usia enam puluh sampai sampai mati.
  
B.     Perkembangan Agama Pada Usia Lanjut
      Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan-jaringan dan sel-sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini biasanya akan menghadapi berbagai persoalan. Persoalan awal dapat digambarkan sebagai berikut: Pada usia lanjut terjadi penurunan kemampuan fisik  aktivitas menurun sering mengalami gangguan kesehatan mereka cenderung kehilangan semangat.[3] Kehidupan keagamaan pada usia lanjut menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. Dari sebuah penelitian dengan sample 1.200 orang berusia antara 60-100 tahun menunjukkan bahwa ada kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat.  Sementara pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai 100% setelah usia 90 tahun. Ada beberapa pandangan yang menyatakan hal-hal yang menentukan sikap keagamaan pada manusia di usia lanjut, diantaranya sebagai berikut:
1.   Seringkali kecenderungan meningkatnya kegairahan dalam bidang keagamaan ini dihubungkan dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut pendapat ini manusia usia lanjut mengalami frustasi dalam bidang seksual sejalan dengan penurunan kemampuan fisik. Frustasi semacam ini dinilai sebagai satu-satunya factor yang membentuk sikap keagamaan. Pendapat ini disanggah oleh Thouless, yang beranggapan bahwa pendapat tersebut terlalu dilebih-lebihkan.
2.    Menurut William James, usia keagamaan yang luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia lanjut, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir. Pendapat tersebut diatas sejalan dengan realitas yang ada dalam kehidupan manusia usia lanjut yang semakin tekun beribadah. Mereka sudah mulai mempersiapkan diri untuk bekal hidup di akhirat kelak.
3.    Dalam penelitian lain menyatakan bahwa yang menentukan sikap keagamaan di usia lanjut diantaranya adalah depersonalisasi. Penelitian ini diantaranya dilakukan oleh M. Argyle dan Elle A. Cohen.[4]
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan agama pada usia lanjut itu terjadi atau biasanya dimulai pada usia 65 tahun, bahwasannya pada usia-usia tersebut menunukkan kecenderungan menerima pendapat keagamaan semakin meningkat.

C.    Ciri-ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut
Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan diusia lanjut adalah:
1.    Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.   Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.    Mulai muncul pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4.    Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5.    Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
6.    Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).[5]

D.    Kematangan Beragama Pada Usia Lanjut
Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukakan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan beragama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.[6] Seseorang yang matang dalam beragama bukan hanya memegang teguh paham keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh tanggung jawab, melainkan kadang-kadang dibarengi dengan pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam. Jika kematangan beragama telah ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku keagamaannya senantiasa dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa tanggung jawab,bukan atas dasar peniruan dan sekedar ikut-ikutan saja. Dalam rangka menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan. Karena tingkat kematangan beragama juga merupakan suatu perkembangan individu, hal itu memerlukan waktu, sebab perkembangan kepada kematangan beragam tidak terjadi secara tiba-tiba. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan:[7]
1.    Faktor diri sendiri
Faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua: kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas ini merupakan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima dengan rasionya, akan menghayati dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama tersebut dengan baik, penuh keyakinan dan argumentative, walaupun apa yang harus dilakukan itu berbeda dengan tradisi yang ada dalam kehidupan masyarakat mereka. Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan aktivitas keaagamaan. Namun, bagi mereka yang mempunyai pengalamanan sedikit dan sempit, ia akan mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan pada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap dan stabil.
2.    Faktor luar
Yang dimaksud dengan faktor luar, yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang telah ada. Faktor-faktor tersebut antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Kultur masyarakat yang dikuasai tradisi tertentu dan berjalan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, kadang-kadang terasa oleh sebagian orang sebagai suatu belenggu yang tidak pernah selesai. Seringkali tradisi tersebut tidak diketahui dari mana asal-usul dan sebab musababnya, mulai kapan ada dan bagaimana ceritanya. Memang untuk tradisi-tradisi tertentu mungkin perlu dikembangkan dan dilestarikan. Namun pada bagian lain, terdapat tradisi-tradisi tertentu yang perlu  penjelasan, sehingga tidak menimbulkan anggapan kontradiktif pada sementara orang, antara ajaran agama di satu pihak dengan kenyataan yang berlainan di pihak lain. Seseorang yang semenjak kecil  telah dicekam oleh tradisi yang kurang dimengerti oleh orang itu sendiri, maka hal itu akan mempengaruhi terhadap perkembangan rasa keagamaannya pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu, pendidikan yang diterima seseorang dari keluarga yang menghasilkan kebiasaan-kebiasaan tertentu  dalam kehidupan beragama seseorang, biasanya akan sulit sekali untuk diadakan perubahan ke arah yang lebih sempurna. Namun, jika pendidikan yang diterima seseorang dari jenjang lembaga berikutnya tidak terlalu banyak mengarahkan kearah yang lebih baik dan sempurna, hal itu akan menjadi hambatan pada masa berikutnya. Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William Starbuck, sebagaimana dipaparkan kembali oleh William james, mengemukakan dua buah faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu :
1.   Faktor intern, terdiri dari :
a)    Temperamen
       Tingkah laku yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang. Seseorang yang melankolis, misalnya, akan berbeda dengan orang yang berkepribadian dysplastis dalam sikap dan pandangannya terhadap agama. Hal demikian juga akan mempengaruhi seseorang dalam kematangan beragama.
b)   Gangguan Jiwa
       Orang yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.Tindak-tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan seseorang yang ditampilkan tergantung pada gangguan jiwa yang mereka rasakan.
c)    Konflik dan Keraguan
       Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseoarng terhadap agama, seperti taat, fanatic, agnotis, maupun ateis.
d)   Jauh dari Tuhan
      Orang yang hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup, terutama saat menghadapi musibah.

2.   Faktor Ekstern yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak   
a)    Musibah
      Seringkali musibah yang sangat serius dapat mengguncangkan seseorang,dan kegoncangan tersebut seringkali memunculkan kesadaran, khususnya kesadaran keberagamaannya. Mereka merasa mendapatkan peringatan dari Tuhan.
b)    Kejahatan
      Orang yang hidup dalam kejahatan pada umumnya mengalami guncangan batin dan rasa berdosa.Perasaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan kompensif, seperti meluapakan dengan berfoya-foya dan sebagainya.Dapat pula orang tersebut melampiaskannya dengan tindakan brutal.pemarah dan sebagainya. Sering pula perasaan yang fitri menghantui dirinya,yang kemudian membuka kesadarannya untuk bertobat, yang pada akhirnya akan menjadi penganut agama yang taat dan fanatik.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa suatu kematangan agama pada usia lanjut tidak terjadi secara tiba-tiba karena terjadinya suatu hambatan-hambatan sehingga kematangan keagamaan terganggu, hambatan-hambatan tersebut ada yang datangnya dari diri sendiri dan adapula yang datangnya dari luar, dua hambatan tersebut ini yang menyebabkan terhambatnya terjadinya kematangan keagamaan pada lansia.

E.     Perlakuan terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
Menurut Lita L Atkison, sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut (usia 70-79th) menyatakan tidak merasa dalam keterasingan dan masih menunjukkan aktifitas yang positif. Tetapi perasaan itu muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam terapi psikologi. Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya, arah perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke usia ini, perhatian mereka tertuju kepada upaya menemukan ketenangan bathin. Sejalan dengan perubahan itu maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan orientasi ini diantaranya disebabakan oleh psikologis. Disatu pihak kemampuan fisik pada usia lanjut sedang mengalami penurunan. Sebaliknya dipiahak lain memiliki khasanah pengalaman yang kaya. Kejayaan mereka dimasa lalu yang pernah diperoleh sedang tidak lagi memperoleh perhatian karena secar fisik mereka dinilai sudah lemah. Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan bathin.
Apabila gejolak-gejolak tidak dapat dibendung lagi maka muncul gangguan kejiwaan, seperti stress, putus asa, ataupun pengasingan diri dari pergaulan sebagai wujud rasa rendah diri. Dalam kasus-kasus seperti ini umumnya dapat difungsikan dan diperankan sebagai penyelamat. Sebab melalui ajaran pengalaman agama, manusia usia lanjut merasa memperoleh tempat bergantung. Fenomena adanya para pejabat pensiunan seperti ini sudah jamak terlihat diakhir-akhir ini. Sebagai dalam memberi perlakuan yang baik pada kedua orang tua


F.     Cara Bersikap Pada Manusia Usia Lanjut
Dalam lingkungan peradaban Barat, upaya untuk memberi perlakuan manusiawi kepada para manusia usia lanjut dilakukan dengan menempatkan mereka dipanti jompo. Di panti ini para manusia usia lanjut itu mendapat perawatan yang intensif. Sebaliknya, di lingkungan keluarga, umumnya karena kesibukan, tak jarang anak-anak serta sanak keluarga tak berkesempatan untuk memberikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan para manusia usia lanjut tersebut.
Tradisi keluarga Barat umumnya menilai penempatan  orang tua mereka ke panti jompo merupakan cerminan dari kasih saying anak kepada orang tua. Sebaliknya, membiarkan orang tua yang berusia lanjut tetap berada di lingkungan keluarga cenderung dianggap sebagai menelantarkannya. Lain halnya dengan konsep  yang dianjurkan oleh islam. Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan  seteliti dan seteladan mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut, dibebankan pada keluarga mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang tua menurut tuntunan islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan  pemeliharaan secara  khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka dengan kasih sayang. Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut islam merupakan kewajiban agama, maka perbuatan menempatkan orang tua dipanti jompo merupakan tindakan tercela yang dilakukan oleh seorang anak.









Kesimpulan
Dari makalah yang dijabarkan diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa usia lanjut adalah usia dimana seseorang akan mengalami kemunduran fisik dan mental yang terjadi secara perlahan dan bertahap dan dikenal sebagai “senescence” yaitu masa proses menjadi tua. Adapun secara umum mengatakan bahwa usia lanjut ini dimulai pada usia 65 tahun. Dalam perkembangan usia lanjut ini akan  terjadi penurunan kemampuan fisik yang menyebabkan aktivitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan hingga  mereka akan cenderung kehilangan semangat.
Adapun ciri-ciri keagamaan pada usia lanjut diantaranya, Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan, Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan, Mulai muncul pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh, Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur, Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya, Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).
Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukakan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan beragama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan dalam menuju rasa keagamaan usia lanjut yakni factor intern (dalam diri), dan ekstern (dari lingkungan).
Di dalam Islam Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan  seteliti dan seteladan mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut, dibebankan pada keluarga mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Sehingga merawat orang tua  dalam usia lanjut merupakan kewajiban bagi anak-anak maupun sanak keluarganya, yakni dengan cara-cara yang diajarkan di dalam alQur’an dan Sunnah Rasul.


Daftar Pustaka


Heni, Narendrany Hidayati. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Hafi Anshari. 1991. Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, Surabaya : Usaha Nasional.
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama.  Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.



[1] Heni, Narendrany Hidayati, 2007, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press), Hal. 133.
[2] Ibid, Hal 134.

[3] Sururin, 2004, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada), Hal. 88
[4] Ibid, Hal 89-90
[5] Ibid,  Hal. 90
[6] Hafi Anshari, 1991, Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional ), Hal  94.

[7] Sururin, 2004, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) Hal . 92-97

PRINSIP DAN PRAKTIK EKONOMI DALAM ISLAM

A. Pengertian ekonomi islam Ekonomi islam secara terminologi dalam bahasa arab berarti al-iqtisad al-islami yang berarti ekonomi yang bersif...