A.
Abstrak
Pendidikan keluarga dipandang
sebagai pendidikan pertama dan utama. Dikatakan pendidikan pertama karena bayi
atau anak itu pertama kali berkenalan dengan lingkungan serta mendapat
pembinaan pada keluarga.
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak, karena
dalam keluarga
inilah seorang anak
manusia pertama sekali mendapatkan pendidikan dan
bimbingan. Sebagian
besar
dari kehidupan
anak
dilaluinya
di
dalam keluarga, sehingga pendidikan
yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga.
Pengalaman
yang diperoleh anak melalui pendidikan dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan anak dalam proses pendidikan selanjutnya. Pendidikan pertama ini dapat dipandang sebagai
peletak fondasi pengembangan-pengembangan berikutnya. Pendidik perlu bertindak
secara hati-hati pada pendidikan pertama ini. Kalau tidak, bisa memberikan dampak yang kurang baik
pada perkembangan-perkembangan berikutnya. Lingkungan keluarga merupakan
lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah anak
pertamam-tama mendapatkan didikan dan bimbingan. Juga di katakana lingkungan
yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga,
sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak termasuk
peletak dasar bagi pendidikan ahlak dan pandangan hidup keagamaan adalah dalam
keluarga, Oleh karena itu, orang tua harus mampu menanamkan
pendidikan yang baik dan benar kepada anak sejak
usia dini, agar perkembangan
perilaku anak selanjutnya dapat mencerminkan kepribadian yang luhur, yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, agama, keluarga juga masyarakat dan bangsanya.
Kata Kunci: Lingkungan Keluarga, Pendidikan
Pertama dan Utama.
B. Pendahuluan
Lingkungan keluarga merupakan tempat seseorang memulai
kehidupannya. Keluarga membentuk suatu hubungan yang sangat erat antara ayah,
ibu dan anak. Hubungan tersebut terjadi karena anggota keluarga saling
berinteraksi. Dari lingkungan itulah anak mengalami proses pendidikan dan
sosialisassi awal. Keluarga
memberikan pendidikan pertama bagi anak. Sifat dan tabiat anak seebagian besar
di ambil dari kedua orang tuanya, dengan kata lain sifat dan kepribadian anak
merupakan cerminan perilaku atau didikan orang tuanya. Namun terkadang orang
tua tidak mengetahui apa peranan mereka selaku keluarga dalam mendidik
anak sebagai lembaga pendidikan pertama. Maka dari itu makalah ini saya
berjudul “perana keluarga dalam mendidik anak sebagai lembaga pendidikan
pertama” untuk mengetahui apa peran keluarga,bagaimana peran keluarga dan apa
mamfaat peran keluarga
dalam mendidik anak sebagai lembaga pendidikan pertama. Keluarga merupakan salah satu institusi pendidikan. Setiap
orang yang berada dalam
institusi ini pasti akan mengalami perubahan dan perkembangan menurut warna dan corak
institusi tersebut.
Lingkungan keluarga
merupakan lingkungan pendidikan yang pertama
dan utama bagi anak, karena dalam keluarga
inilah seorang anak
manusia pertama sekali mendapatkan pendidikan dan
bimbingan. Sebagian
besar
dari kehidupan
anak
dilaluinya
di
dalam keluarga, sehingga pendidikan
yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga.
Pengalaman
yang diperoleh anak melalui pendidikan dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan anak dalam proses pendidikan selanjutnya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa orang tua
merupakan pendidik yang pertama
dan utama dalam pembentukan kepribadian seorang anak manusia.
C. Pembahasan
a) Keluarga Merupakan Pendidik Pertama dan Utama
Keluarga (bahasa Sansekerta, kulawarga: ras dan warga yang berarti
anggota) adalah lingkungan yang terdapat beberapa orang yang masih
memiliki hubungan darah. Keluarga
sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan antar
individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab di antara individu
tersebut. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri
atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu
tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Pendidikan keluarga dipandang sebagai pendidikan pertama dan
utama. Dikatakan pendidikan pertama karena bayi atau anak itu pertama kali
berkenalan dengan lingkungan serta mendapat pembinaan pada keluarga. Pendidikan
pertama ini dapat dipandang sebagai peletak fondasi pengembangan-pengembangan
berikutnya. Pendidik perlu bertindak secara hati-hati pada pendidikan pertama
ini. Kalau tidak, bisa
memberikan dampak yang kurang baik pada perkembangan-perkembangan berikutnya. Lingkungan
keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga
inilah anak pertamam-tama mendapatkan didikan dan bimbingan. Juga di katakana
lingkungan yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah di
dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak
termasuk peletak dasar bagi pendidikan ahlak dan pandangan hidup
keagamaan adalah dalam keluarga.[1] Factor orang tua sangat besar
pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam belajar anak karna. tinggi rendahnya
pendidikan orang tua, besar kecil penghasilan, cukup atau kurang perhatian dan bimbingan
orang tua, rukung atau tidaknya kedua orang tua, akrab tidaknya hubungan orang
tua dengan anak-anak tenang atau tidaknya situasi dalam rumah, semua itu turut
mempengaruhi pencapaian hasil belajar anak.[2]
Di dalam pasal 1 UU perkawinan Nomor 1 tahun 1974, dinyatakan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagian dan
sejahterah, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Anak yang lahir dari perkawinan
ini adalah anak yang sah menjadi hak serta tanggung jawab kedua orang tuanya
memelihara dan mendidiknya, dengan sebaik-baiknya . kewajiban kedua orang tua
mendidik anak ini terus berlanjut sampai ia di kawinkan atau dapat berdiri
sendiri, bahkan menurut pasal 45 ayat 2 UU perkawinan ini , kewajiban dan
tanggung jawab orang tua akan kembali apabila perkawinan antara keduanya putus
sesuatu hal. Maka anak
ini kembali Keluarga merupakan persekutuan hidup pada lingkungan keluarga
tempat dimana ia menjadi diri pribadi atau. Sebagai mana dalam teori Sigmun
freud yang menyatakan bahwa “ Das ueber ich” atau aspek sosiologis dan
nilai-niai tradisional serta cita-cita masyarakat bagaimanadi tafsirkan orang
tua terhadap anaknya[3].
Disamping itu
merupakan tempat belajar bagi anak dalam segala sikap untuk berbakti kepada
tuhan sebagai perwujudan nilai hidup yang tertinggi dengan demikian jelaslah
bahwa orang yang pertama dan utama bertanggung jawab terhadap kelangsungan
hidup dan pendidikan anak adalah orang tua.
Karena sifat pekanya perkembangan-perkembangan pada awal ini
membuat pendidikan ini dikatakan sebagai pendidikan yang utama. Kepekaan
perkembangan-perkembangan awal ini tidak hanya menyangkut psikologi, tetapi
juga fisiologi. Dengan kata lain pertumbuhan jasmani pada fase-fase awal ini
juga sangat peka. Memang pertumbuhan jasmani dan perkembangan jiwa anak-anak
berkaitan satu dengan yang lain. Kalau dalam kedokteran ada dalil yang
mengatakan kualitas makanan yang diberikan kepada anak balita akan menentukan
kualitas kecerdasan atau kemampuan mereka kelak, maka dalam pendidikan ada
konsep yang mengatakan bagaimana perlakuan terhadap anak 4 tahun ke bawah
seperti itulah jadinya anak itu setelah dewasa. Dari dalil itu muncul himbauan
agar keluarga member makanan bergizi kepada anak balita agar otaknya tumbuh
dengan sempurna. Begitu pula konsep di atas membuat para orang tua
memperlakukan anak-anak kecil itu dengan baik, penuh kasih saying agar anak itu
menjadi orang yang berguna kelak.
Namun
informasi yang diterima oleh orang tua berat sebelah. Informasi tentang
pentingnya memberikan makanan bergizi kepada balita lebih banyak diterima
dibandingkan dengan informasi tentang pentingnya memperlakukan anak-anak dengan
baik. Buktinya kini semakin banyak anak sehat dan cerdas, tetapi masih banyak
sekali anak-anak nakal yang membuat berbagai kerusuhan. Kenakalan ini sebagian
besar disebabkan oleh perlakuan lingkungan yang tidak benar, antara lain
terlalu keras atau disiplin kaku, kurang diperhatikan, kurang kasih sayang,
terlalu diberi kebebasan, dan sebagainya.
Kenyataan di atas tampaknya bertalian dengan kurang intensifnya
pengembangan pendidikan keluarga itu sendiri. Pendidikan keluarga, memang belum
ditangani seperti pada pendidikan jalur sekolah. Sehingga masuk akal kalau
sebagian besar keluarga tidak paham tentang cara mendidik anak-anak dengan
benar. Walaupun isi pendidikan itu sebagian besar ditekankan pada pengembangan
afeksi, seperti kerajinan, kejujuran, kesetiaan, toleransi, disiplin, gotong
royong, keimanan, ketakwaan, menghormati orang tua, bisa berterima kasih, suka
menolong, dan sebagainya. Di sini tampak masih ada yang belum terselesaikan
sampai sekarang, di satu pihak dipandangkan pendidikan ke keluarga adalah yang
pertama dan utama namun di pihak lain macam pendidikan ini tidak ditangani
secara utama atau diterlantarkan. Oleh karena itu, keluarga adalah institusi
yang sangat berperan dalam rangka melakukan sosialisasi, bahkan internalisasi,
nilai-nilai pendidikan. Meskipun jumlah institusi pendidikan formal dari
tingkat dasar sampai ke jenjang yang paling tinggi semakin hari semakin banyak,
namun peran keluarga dalam transformasi nilai edukatif ini tetap tidak
tergantikan.
Karena itulah, peran keluarga dalam hal ini tidak ringan sama sekali. Bahkan bisa dikatakan, bahwa tanpa keluarga nilai-nilai
pengetahuan yang didapatkan di bangku meja formal tidak akan ada artinya sama
sekali. Sekilas memang tampak bahwa peran keluarga tidak begitu ada artinya,
namun jika direnungkan lebih dalam, siapa saja akan bisa merasakan betapa berat
peran yang disandang keluarga.
Problem
yang dialami oleh anak jalanan untuk memperoleh pendidikan salah satunya adalah
minusnya, karena
tidak adanya peran keluarga. Kalaupun akhirnya mereka
bersekolah, mereka hanya mendapatkan pengetahuan formal saja. Sementara kasih
sayang, sopan santun, moralitas, cinta dan berbagai nilai afektif lainnya sulit
mereka dapatkan. Mereka merasa tidak ada tempat yang baik untuk berlindung dan
mengungkapkan seluruh perasaan secara utuh dan bebas. Umumnya mereka tidak memiliki
keluarga yang mengemban peran tersebut. Kalaupun mereka memiliki keluarga,
tidak ada situasi yang kondusif untuk saling berbagi perasaan antar anggota
dalam sebuah keluarga. Ini merupakan salah satu kesulitan yang dihadapi oleh
lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mencoba memberdayakan ‘anak jalanan’.
Mungkin persoalan sulitnya bagaimana dia mendapatkan pendidikan secara formal,
tidak sesulit bagaimana dia memperoleh kasih sayang sejati.
Dari penjelasan di atas kita bisa mengerti betapa penting peran keluarga dalam rangka mengemban
misi-misi pendidikan tidak bisa diabaikan. Di dalam keluarga tercermin jalinan
kasih dan cinta dalam mana ikatan emosional, darah dan kekerabatan sangat
mendominasi. Dengan demikian, keluarga merupakan pendidik
pertama dan utama bagi anak-anaknya. Sebagian orang secara tidak sadar mengatakan bahwa
sebenarnya peran keluarga adalah sekunder, alias hanya menjadi pelengkap saja.
Sebab pengetahuan formal sudah mereka dapatkan di bangku sekolahan. Logika ini
tidak saja keliru secara etis, tapi juga patut dipertanyakan pula pandangan
moralnya terhadap keluarga. Yang logis, keluarga justru merupakan institusi
pendidikan pertama dan utama, kemudian baru dilengkapi dengan nilai-nilai
pengetahuan yang didapatkan dari bangku sekolahan ataupun
masyarakat.
b)
Peranan
Keluarga Dalam Pendidikan
Pendidikan merupakan tanggung jawab
bersama antara keluarga masyarakat dan pemerintah. Sehingga orang tua tidak
boleh menganggap bahwa pendidikan anak hanyalah tanggung jawab
sekolah. Orang tua sebagai lingkungan pertama dan utama dimana anak
berinteraksi sebagai lembaga pendidikan yang tertua, artinya disinilah dimulai
suatu proses pendidikan. Sehingga orang tua berperan sebagai pendidik
bagi anak-anaknya. Lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling
utama, karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga
pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga. Dalam suatu keluarga biasanya terdiri dari
beberapa
anggota keluarga
seperti ibu, ayah,
anak, dan pembantu
(pramuwisma). Untuk lebih jelasnya peranan anggota keluarga terhadap anak dapat dilihat dalam uraian berikut
ini:
1.
Peranan ibu
Pada kebanyakan keluarga, ibulah yang memegang peranan yang
terpenting terhadap pendidikan
anak-anaknya. Sejak anak itu dilahirkan, ibulah
yang selalu disampingnya, ibulah yang memberi makan, minum,
memelihara dan selalu
bergaul dengan anak-anak. Itulah sebabnya
kebanyakan
anak
lebih
cinta
kepada ibunya dari pada kepada anggota keluarga lainnya. Sesuai dengan fungsi serta tanggung jawabnya
sebagai anggota keluarga, menyimpulkan
bahwa
peranan ibu
dalam pendidikan anak-anaknya sebagai
berikut:
a.
Sumber
dan pemberi rasa kasih sayang.
b.
Pengasuh dan
pemelihara.
c.
Tempat mencurahkan isi hati.
d.
Pengatur
kehidupan dalam rumah tangga.
e.
Pembimbing hubungan
pribadi.
f.
Pendidik dalam segi-segi emosional.[4]
Dengan demikian dapat dipahami
bahwa ibu sangat memegang peranan penting dalam
mendidik anak.
Oleh karena itu
ibu
haruslah benar-benar menjalankan tugasnya
dengan
sebaik-baiknya, agar pendidikan anak
dapat berlangsung
dengan baik.
2. Peranan Ayah
Seorang ayahpun memegang peranan
yang penting
pula terhadap
anaknya. Anak memandang ayahnya sebagai orang yang tinggi gengsinya
atau prestisenya.
Kegiatan seorang ayah terhadap pekerjaannya
sehari-hari sungguh besar pengaruhnya kepada anak-anaknya. Dalam kaitan ini Zakiah Daradjat mengatakan, bahwa cara ayah itu melakukan
pekerjaannya sehari-hari berpengaruh
pada cara pekerjaan anaknya.
Ayah merupakan penolong utama,
lebih-lebih bagi anak yang agak besar, baik laki-laki maupun perempuan.[5]
3.
Peranan Nenek
Banyak pula anak-anak yang menerima pendidikan dari neneknya
ataupun kakeknya. Pada umumnya, nenek itu merupakan
sumber kasih
sayang yang mencurahkan kasih sayang
yang berlebihan
terhadap cucu-cucunya. Mereka
tidak mengharapkan sesuatu dari cucu-cucunya itu, mereka
semata-mata memberi belaka. Maka dari itu mereka memanjakan cucu-cucunya dengan sangat
berlebih- lebihan.Dalam
suatu keluarga yang tinggal
serumah dengan nenek, seringkali terjadi perselisihan antara
orang tua anak dengan
nenek
mengenai cara mendidik
anak-anaknya. Nenek merasa bahwa ia sudah lebih banyak mengetahui sesuai pengalamannya
yang telah usang dengan istilah, telah lebih banyak “makan garam” dari pada anaknya (orang
tua anak). Dalam hal ini,
Ngalim Purwanto
mengatakan, bahwa memanjakan anak tidak baik. Anak yang dimanjakan akan mengalami bermacam-macam cacat dalam jiwanya. Jika dianalisis secara lebih mendalam, maka yang dimaksud dengan
cacat
jiwa akibat anak yang dimanjakan antara lain adalah:
a.
Anak akan mempunyai sifat mementingkan
dirinya sendiri dan perasaan sosialnya kurang.
b.
Kurang mempunyai
rasa tanggung jawab,
tidak sanggup berikhtiar dan
berinisiatif sendiri.
c.
Anak mempunyai perasaan harga diri kurang, menyebabkan lekas putus asa dan keras kepala.
d.
Di sekolah,
anak yang manja selalu berusaha
menarik
perhatian
guru
atau teman-temannya, sehingga sering bertingkah
polah yang aneh-aneh.
e.
Karena tidak
ada kemauan dan
inisiatif, di sekolah
anak
yang
manja biasanya bersifat pemalas.
Ia enggan bersusah-susah mengerjakan soal pelajarannya.
4.
Peranan Pembantu Rumah tangga
Biasanya keluarga yang berkecukupan ekonominya sering
memiliki seorang pembantu rumah
tangga (pramuwisma). Tugas pramuwisma, di samping mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga
seperti memasak, membersihkan halaman,
menyiram tanaman
hias, mencuci sering
pula diserahi
tugas untuk mengasuh dan memelihara anak-anak yang masih kecil
(babysitter), karena kedua
orang tua
anak
itu
sibuk
bekerja atau mencari nafkah
di
luar
rumah
untuk menutupi kebutuhan keluarganya.
Ngalim Purwanto mengatakan,
bahwa pramuwisma dapat dikatakan anggota keluarga
yang juga turut berperan dalam pendidikan anak-anak di dalam keluarga. Sejalan dengan pendapat
di atas, maka suatu
kenyataan membuktikan
bahwa pramuwisma merupakan salah seorang
sosok yang sangat dekat dengan
seorang anak, karena
dialah
yang
paling banyak bergaul bersama sang anak,
sementara orang tua berada
di
luar
rumah, sehingga dia ikut berperan dalam
proses pendidikan seorang
anak. Peniruan secara sadar atau
tidak oleh
anak terhadap kebiasaan-kebiasaan pramuwisma akan terjadi setiap
hari, sehingga akan ikut mewarnai
kepribadian
seorang anak. Oleh karenanya bagi para orang tua
betapapun sempitnya waktu luang,
tidak baik jika
menyerahkan sepenuhnya pendidikan
anak-anaknya kepada
pramuwisma. Apalagi kenyataan
menunjukkan bahwa pada umumnya pramuwisma, khususnya
yang bukan babysitter, tidak memiliki pengetahuan dalam hal mengasuh atau
mendidik
anak-anak dengan latar belakang pendidikan yang rendah dan pengalaman yang kurang (karena
umumnya masih muda dan belum
pernah berkeluarga), sehingga tentunya tidak baik bagi pengasuhan anak.
Menurut Hasbullah dalam tulisannya tentang dasar-dasar ilmu pendidikan,
“bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu
fungsi dalam perkembangan kepribadian anak dan mendidik anak di
rumah serta fungsi keluarga/orang tua dalam mendukung pendidikan di sekolah”.
Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat seperti kejahatan seksual, kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga. Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga yang sejahtera. Menurut pakar pendidikan, William Bennett, keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi departemen kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidik karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah. Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Menurut megawangi ada 3 kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental. Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepad orang lain (anak). Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak.
Menurut Bowlby, normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya 1 orang (biasanya ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadapanaknya yang berusia dibawah 6 bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.
Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat seperti kejahatan seksual, kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga. Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga yang sejahtera. Menurut pakar pendidikan, William Bennett, keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi departemen kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidik karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah. Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Menurut megawangi ada 3 kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental. Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepad orang lain (anak). Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak.
Menurut Bowlby, normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya 1 orang (biasanya ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadapanaknya yang berusia dibawah 6 bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.
Sedangkan Menurut Popov
dan kawan-kawan (1997), orang tua dapat berperan sebagai :
a)
Educator yaitu
bisa menciptakan dan menyadari adanya teach able momentdalam keluarga.
b)
Autority yaitu
bisa mengembangkan batas-batas normative
c)
Guide yaitu
bisa share your skills kepada anak-anak.
d)
Conselor yaitu mampu memberi
dukungan pada anak ketika mengalami dilema moral.
Keberhasilan
keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan pada anak sangat
tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola
asuh dapat didefinisikan sebagaipola interaksi antara anak dengan orang tua
yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti: makan, minum, dan lain-lain)
dan kebutuhan psikologis (seperti: rasa aman, kasih sayang), serta sosialisasi
norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras
dengan lingkungannya. Dengan
kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam
rangka pendidikan karakter anak.
c)
Tujuan
Pendidikan Keluarga
Tujuan pendidikan keluarga adalah
memelihara, melindungi anak sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Keluarga merupakan kesatuan hidup bersama yang utama dikenal oleh anak sehingga
disebut lingkungan pendidikan utama.
Proses pendidikan awal di mulai
sejak dalam kandungan. Latar belakang sosial ekonomi dan budaya keluarga,
keharmonisan hubungan antar anggota keluarga, intensitas hubungan anak dengan
orang tua akan sangat mempengaruhi sikap dan perilaku anak. Keberhasilan anak
di sekolah secara empirik sangat dipengaruhi oleh besarnya dukungan orang tua
dan keluarga dalam membimbing anak.
d) Fungsi Pendidikan Keluarga
Menurut
MI Soelaeman keluarga memiliki beberapa fungsi
antara lain sebagai berikut :
1.
Fungsi edukatif adalah yang mengarahkan
keluarga sebagai wahana pendidikan pertama dan utama bagi anak-anaknya agar
dapat menjadi manusia yang sehat, tangguh, maju dan mandiri sesuai dengan
tuntutan kebutuhan pembangunan yang semakin tinggi.
2.
Fungsi sosialisasi anak adalah keluarga
memiliki tugas untuk mengantarkan dan membimbing anak agar dapat beradaptasi
dengan kehidupan sosial (masyarakat), sehingga kehadirannya akan diterima oleh
masyarakat luas.
3.
Fungsi proteksi (perlindungan) adalah
keluarga berfungsi sebagai wahana atau tempat memperoleh rasa nyaman, damai dan
tentram seluruh anggota keluarganya.
4.
Fungsi afeksi (perasaan) keluarga
sebagai wahana untuk menumbuhkan dan membina rasa cinta dan kasih sayang antara
sesama anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya.
5.
Fungsi religius keluarga sebagai wahana
pembangunan insan-insan beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
bermoral, berahlak dan berbudi pekerti luhur sesuai dengan ajaran agamanya.
6.
Fungsi ekonomi adalah keluarga sebagai
wahana pemenuhan kebutuhan ekonomi fisik dan materil yang sekaligus mendidik
keluarga untuk hidup efisien, ekonomis dan rasional.
7.
Fungsi
rekreasi, keluarga harus menjadi lingkungan yang nyaman, menyenangkan, cerah,
ceria, hangat dan penuh semangat.
8.
Fungsi
biologis, keluarga sebagai wahana menyalurkan kebutuhan reproduksi sehat bagi
semua anggota keluarganya.
e)
Fungsi dan
peran pendidikan keluarga
1.
Pengalaman Pertama Masa Kanak-Kanak
Pendidikan keluarga memberikan
pengalaman pertama
yang
merupakan faktor penting
dalam perkembangan pribadi anak. Pendidikan
keluarga adalah merupakan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Sebagaimana Nabi Muhammad Sallalahu Alaihi Wasallam
bersabda: Barang siapa yang lahir anaknya, lalu mengazankan pada telinga
kanannya dan iqamah pada telinga
kirinya, anak itu tidak akan dimudharatkan oleh ummush-shibyan. (H.R. Abi Yu’la).
Mengazankan dan iqamah itu mengandung hikmah yang
tinggi bagi bayi yang baru lahir,
sebelum ia mendengar sesuatu apapun, lebih
dahulu kalimah tauhid diperdengarkan
kepadanya
dengan harapan
akan
menjadi pedoman di kemudian hari. Azan juga merupakan pelajaran pertama yang secara langsung diberikan kepada bayi tersebut, kemudian disusul
dengan
pelajaran agama lainnya
sesuai dengan perkembangan anak.
Dikatakan “pertama” maksudnya bahwa kehadiran anak
di dunia ini disebabkan
hubungan kedua
orang
tuanya. Mengingat orang
tua adalah
orang dewasa, maka merekalah yang
harus bertanggung jawab terhadap anak.
Di dalam keluargalah pertama sekali seorang anak manusia
menerima/mengalami proses pendidikan. Sedangkan “Utama” maksudnya
adalah bahwa orang tua bertanggung jawab pada pendidikan
anak.
Dalam
arti
bahwa
seorang
anak dilahirkan
dalam keadaan tidak berdaya,
dalam keadaan penuh ketergantungan dengan orang lain, tidak
mampu berbuat
apa-apa, bahkan
tidak
mampu menolong
dirinya
sendiri. Sebagai lingkungan pertama dalam proses pendidikan anak, maka pada
perkembangan selanjutnya di dalam keluargalah
anak memulai pertumbuhannya
dan di dalam keluargalah
waktu-waktu yang
paling banyak
dilalui seorang
anak. Segala
perilaku orang tua secara sengaja ataupun tidak akan mempengaruhi
perkembangan perilaku
anak. Maka sudah
sewajarnya setiap
orang tua menyadari dan mempersiapkan keluarga sebagai basis utam Sebagai penanggung jawab pendidik pertama
dan utama, maka orang tua tanpa ada
yang
memerintah,
langsung
memikul tugas
sebagai pendidik, baik bersifat sebagai
pemelihara, sebagai pembina
maupun sebagai guru dan pemimpin
terhadap anak-anaknya.
Ini
adalah tugas kodrati
dari tiap-tiap manusia.
2. Menjamin Kehidupan Emosional Anak
Melalui pendidikan keluarga, kehidupan emosional anak atau kebutuhan akan rasa kasih sayang
dapat dipenuhi atau dapat berkembang dengan baik, hal ini dikarenakan
adanya hubungan darah antara pendidik dengan
anak didik sehingga
menumbuhkan hubungan yang
didasarkan
atas rasa cinta kasih sayang yang murni. Zakiah Daradjat mengatakan:
“Rasa kasih sayang adalah kebutuhan
jiwa yang paling pokok dalam hidup manusia.
Anak kecil
yang merasa kurang disayangi ibu bapanya akan menderita batinnya, mungkin terganggu
kesehatan badannya, akan kurang kecerdasannya dan mungkin ia akan menjadi nakal, keras
kepala, dan sebagainya.[6] Sementara
Hasan Langgulung mengatakan, bahwa melalui pendidikan keluarga dapat
menolong
anak-anaknya dan anggota-anggotanya secara
umum untuk menciptakan pertumbuhan
emosi
yang sehat,
menciptakan kematangan
emosi yang sesuai dengan umurnya.[7]
Dengan demikian untuk menciptakan
emosi yang sehat dalam suatu
keluarga, paling tidak yang sangat perlu diperhatikan adalah memenuhi kebutuhan anak. Salah satu diantaranya
kebutuhan akan rasa kasih sayang.
Kasih sayang tidak akan dirasakan oleh
si
anak apabila
dalam
hidupnya
si anak
merasa
tidak
diperhatikan atau kurang disayangi oleh kedua orang tuanya.
3. Menanamkan Dasar Pendidikan
Moral
Di dalam
keluarga
juga
merupakan penanaman utama
dasar-dasar moral
bagi anak, yang biasanya tercermin dalam
sikap dan
perilaku
orang
tua
sebagai teladan
yang dapat dicontoh anak. Pendidikan moral yang
terjadi dalam keluarga dengan membiasakan anak kepada
sifat-sifat
yang baik seperti
sifat benar, jujur,
ikhlas dan adil. Akan tetapi sifat-sifat tersebut belum dapat dipahami oleh anak,
kecuali dalam bentuk
pengalaman langsung yang
dirasakan oleh anak dalam kehidupannya. Djaka, Cs. mengatakan,
bahwa dalam pendidikan
budi pekerti yang penting ialah kebiasaan dan perbuatan (prakteknya).[8] Selanjutnya, Zakiah Daradjat
mengemukakan, bahwa pendidikan
moral yang paling baik terdapat
dalam agama, karena nilai moral yang dapat dipatuhi dengan suka rela,
tanpa paksaan dari luar hanya dari kesadaran sendiri, datangnya dari keyakinan beragama.[9] Dengan demikian pendidikan
moral
tidak terlepas
dari pendidikan
agama, maka
penanaman pendidikan agama
sebagai sumber pendidikan moral
harus dilaksanakan sejak anak masih kecil
dengan pembiasaan-pembiasaan,
antara
lain seperti berkata jujur, suka menolong,
sabar dan memaafkan kesalahan
orang lain, dan menanam rasa kasih sayang kepada sesama
manusia.
4. Memberikan Dasar Pendidikan Sosial
Di dalam kehidupan, keluarga merupakan basis yang sangat penting
dalam peletakan dasar-dasar pendidikan sosial
anak, sebab pada dasarnya
keluarga merupakan lembaga sosial terkecil yang minimal
terdiri
dari ayah, ibu dan anak.
Perkembangan
benih-benih kesadaran sosial
pada anak-anak dapat dipupuk sedini
mungkin, terutama lewat kehidupan
keluarga yang penuh
rasa tolong
menolong, gotong royong
secara kekeluargaan, menolong
saudara
atau keluarga
yang sakit. Juga bersama-sama menjaga
ketertiban, kedamaian, kebersihan dan
keamanan dalam
segala
hal. Ngalim Purwanto mengemukakan,
bahwa
sejak dahulu manusia itu tidak hidup sendiri-sendiri terpisah satu sama lain, tetapi berkelompok-kelompok
bantu membantu, saling membutuhkan dan saling
mempengaruhi.[10] Keluarga sebagai basis pendidikan pertama dan utama harus
memberikan dasar-dasar pendidikan
sosial kepada anak-anaknya, antara lain:
a. Sejak kecil anak
sudah dibiasakan hidup bersih
diri dan
lingkungan serta
disiplin pada waktu.
b. Membiasakan anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya dalam
mengenal
dasar-dasar
pergaulan hidup,
seperti
bekerja sama dan
tolong menolong dengan sesama
anggota keluarga.
c. Kebiasaan-kebiasaan yang baik itu
harus
dapat
menumbuhkan keyakinan diri untuk senantiasa patuh kepada semua peraturan, baik agama maupun keluarga, bahkan masyarakat.
5. Peletakan Dasar-Dasar Keagamaan
Masa kanak-kanak adalah masa yang paling baik untuk
menerapkan dasar- dasar hidup beragama. Untuk membangun kesadaran beragama, maka anak-anak sejak
kecil
harus sudah dibiasakan untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama,
seperti shalat, ikut ke mesjid, dan lain-lain. Hasbi Ash-Shiddiqiy mengatakan,
bahwa tugas-tugas keagamaan
dipupuk terus
menerus sampai
anak
mencapai umur
dewasa,
sehingga dengan demikian perasaan keagamaan dalam jiwanya benar-benar mendarah daging.14. Dalam rangka
peletakan dasar-dasar keagamaan pada anak, maka perilaku
orang tua yang baik,
rajin beribadat, rajin ke mesjid,
rukun dalam kehidupan rumah tangga, adil dalam
membagi kasih sayang antara sesama
anak, suka menolong
orang lain,
setia kepada kawan dan sebagainya,
hendaklah berkekalan atau terus menerus
sehingga menjadi contoh teladan yang akan
ditiru
dan
diamalkan oleh anak sepanjang hidupnya.
D.Kesimpulan
Pendidikan keluarga dipandang sebagai pendidikan pertama dan
utama. Dikatakan pendidikan pertama karena bayi atau anak itu pertama kali
berkenalan dengan lingkungan serta mendapat pembinaan pada keluarga. Pendidikan
pertama ini dapat dipandang sebagai peletak fondasi pengembangan-pengembangan
berikutnya. Pendidik perlu bertindak secara hati-hati pada pendidikan pertama
ini. Kalau tidak, bisa
memberikan dampak yang kurang baik pada perkembangan-perkembangan berikutnya.
Karena itulah, peran keluarga dalam hal ini tidak ringan sama sekali. Bahkan bisa dikatakan, bahwa tanpa keluarga nilai-nilai
pengetahuan yang didapatkan di bangku meja formal tidak akan ada artinya sama
sekali. Sekilas memang tampak bahwa peran keluarga tidak begitu ada artinya,
namun jika direnungkan lebih dalam, siapa saja akan bisa merasakan betapa berat
peran yang disandang keluarga. Lingkungan
keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar
kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak
diterima anak adalah dalam keluarga. Dalam suatu keluarga
biasanya terdiri dari
beberapa
anggota keluarga
seperti ibu, ayah,
anak, dan pembantu
(pramuwisma).
Tujuan pendidikan keluarga adalah
memelihara, melindungi anak sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Keluarga merupakan kesatuan hidup bersama yang utama dikenal oleh anak sehingga
disebut lingkungan pendidikan utama. Proses pendidikan awal
di mulai sejak dalam kandungan. Latar belakang sosial ekonomi dan budaya
keluarga, keharmonisan hubungan antar anggota keluarga, intensitas hubungan
anak dengan orang tua akan sangat mempengaruhi sikap dan perilaku anak.
Menurut MI Soelaeman keluarga memiliki
beberapa fungsi antara lain sebagai berikut :
1.
Fungsi edukatif adalah yang mengarahkan
keluarga sebagai wahana pendidikan pertama dan utama bagi anak-anaknya agar
dapat menjadi manusia yang sehat, tangguh, maju dan mandiri sesuai dengan tuntutan
kebutuhan pembangunan yang semakin tinggi.
2.
Fungsi sosialisasi anak adalah keluarga
memiliki tugas untuk mengantarkan dan membimbing anak agar dapat beradaptasi
dengan kehidupan sosial (masyarakat), sehingga kehadirannya akan diterima oleh
masyarakat luas.
3.
Fungsi proteksi (perlindungan) adalah
keluarga berfungsi sebagai wahana atau tempat memperoleh rasa nyaman, damai dan
tentram seluruh anggota keluarganya.
4.
Fungsi afeksi (perasaan) keluarga
sebagai wahana untuk menumbuhkan dan membina rasa cinta dan kasih sayang antara
sesama anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya.
5.
Fungsi religius keluarga sebagai wahana
pembangunan insan-insan beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
bermoral, berahlak dan berbudi pekerti luhur sesuai dengan ajaran agamanya.
6.
Fungsi ekonomi adalah keluarga sebagai
wahana pemenuhan kebutuhan ekonomi fisik dan materil yang sekaligus mendidik
keluarga untuk hidup efisien, ekonomis dan rasional.
7.
Fungsi
rekreasi, keluarga harus menjadi lingkungan yang nyaman, menyenangkan, cerah,
ceria, hangat dan penuh semangat.
8.
Fungsi
biologis, keluarga sebagai wahana menyalurkan kebutuhan reproduksi sehat bagi
semua anggota keluarganya.
Daftar Pustaka
Agung.Hasbullah, 2013, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Cet. XI; Jakarta: Rineka Cipta.
CS, Djaka. Rangkuman Ilmu Mendidik, Jilid I, Cet 7, Jakarta:
Toko Buku Mutiara.
Daradjat, Zakiah. 1973, Peranan
Agama Dalam Kesehatan Mental, Jakarta:
Gunung
Daradjat, Zakiah. 1997, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia,
Jakarta: Bulan Bintang.
Dalyono, M.
1997, Psikologi Pendidikan, Cet. 1; Jakarta: Asdi Mahasatya.
Langgulung, Hasan. 1995, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan
Pendidikan, Jakarta: PT.
Al-Husna Zikra.
Purwanto, Ngalim. 1995, Ilmu Pendidikan
Praktis dan Teoristis, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Suryabrata, Sumadi. 2004, Psikologi Pedidikan, Cet. V; Jakarta: Rajawali Pers.
[4] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Praktis dan Teoristis, ( Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1995 ), Hal 82.
[7] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan
Pendidikan, ( Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1995 ), Hal 368.
[9] Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, ( Jakarta:
Bulan Bintang, 1997 ), Hal 20.
[10]
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Praktis dan Teoristis,
( Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995 ), Hal 198.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar